ILMU MUNASAB AL – QURAN
A. Pengaruh Munasahan Al-Qur’an
Munasabah, secara etimologis berarti kedekatan (al-muqarabah) dan kemiripan atau kesempurnaan (al musyakalah). Ia juga berarti hubungan atau persesuaian secara terminologis, nasabah adalah Ilmu Al Qur’an yang digunakan untuk mengetahui atar ayat atau surat dalam Al Qur’an secara keseluruhan dan latar belakang penetapan tartip ayat dan suratnya.
Pendapat lain mengatakan bahwa munasabah merupakan sebuah ilmu yang digunakan untuk mengetahui alasan-alasan penertiban bagian-bagian Al Qur’an. Bahkan pendapat lain mengatakan munasabah merupakan usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antar ayat surat yang dapat diterima akal.
Adapun yang menjadi ukuran (kriterial) dalam menenagkan macam-macam munasabah ini dikembalikan kepada derajat kesesuaian (tamatsul atau tasyabuh) antara aspek-aspek yang dibandingkannya. Jika munasabah itu terjadi pada masalah-masalah yang satu sebab dan ada kaitannya antara awal dan akhir maka munasabah ini dapat dipahami dan diterima akal. Sebaliknya, jika munasabah itu terjadi pada ayat-ayat yang berbeda sebabnya dan masalahanya tidak ada kesrasian antar satu dengan yang lainnya, maka hal itu tidak dikatakan berhubungan (tanasub), karena sebagian ulama mengatakan:
Munasabah adalah suatu urusan (masalah) yang dapat dipahami, jika ia dikemukakan terhadap akal, niscaya akal menerimanya.
Dapat dikatakan menurut penjelasan di atas bahwa pengetahuan tentang munasabah termasuk hasil ijtihad mufasir, bukan tawa kifty (petunjuk nabi), buah penghayatannya terhadap kemukjizatan (I’jaz) Al Qur’an dan rahasia retorika (ma’na) yang dikandungnya.
B. Sejarah Perkembangan Ilmu Munasabah
Abu Bakral – Nasyaburi (w.324) dikenal sebagai orang pertama kali mengangkat persoalan munasabah ini di Bagdad. Namun karya besarnya dalam tafsir sulit untuk dijumpai. Perhatiannya terhadap munasabah tampak ketika ia mempertanyakan alasan dan rahasia penempatan surat dan ayat secara kritis terhadap ulama-ulama di Bagdad. Langkah al Nasyaburi yang memiliki perhatian besar terhadap munasabah ini merupakan upaya pada masa itu, bahkan dikatakan sebuah kejutan bagi kalangan tafsir.
Dalam perkembangan selanjutnya, munasabah meningkat menjadi salah satu cabang dari ulama Al Qur’an. Kendati pada masa sebelumnya para Ulama masih secara persial membahas munasabah ini, tetapi ulama berikutnya menyusun secara spesifik. Kitab AL Burhan fi munsabah tartip al qur’an karya Ahmad ibn Ibrahim al An dalasi (w.807 H) dipandang sebagai kita secara khusus membahas munasabah. Sedangkan penulis-penulis berikutnya mengkonsentrasikan diri terhadap masalah ini diantaranya Burkhan al Din, al Biqa’I yang menulis kitab Nazah al Darar fi tamasub, al ayat wal al suwar.
Selain kedua tokoh di atas penulis-penulis di masa berikutnya, kendati mereka sama-sama membahas munasabah, tetapi pembahasan mereka tidak secara khusus dalam satu kitab mereka. Pembahasan munasabah tersebut hanya ditempatkan dalam satu bab. Al Zarkasyi misalnya, Ia membahas munasabah dalam al Burkan berjudul ma’rifah al munasabah bayn al ayat setelah membahas asbabun nuzul. Tokoh ulama al quran sebelumnya, al suyuthi, membahas munasabah dalam al itqan berjudul fi munasabah al ayat sebelum membahas ayat-ayat mutasyabihat. Manna al qathatthan dan subhi syalih membahas munsabah, justru dalam bahasan asbab al nuzul. Namun dierah modern ini juga ulama yang secara khusus menulis munasabah dalam kitabnya yaitu Muhammad al ghurnariy dalam kitabnya/awahir al bayan fi tanasub suar al quran.
Ada banyak istilah yang dipergunakan ulama untuk munasabah ini. Al sayyid qutub menggunakan istilah irtibath, rasyid ridha menggunakan istilah ittishal dan ia’lil, al alusiy menggunakan istilah tartip dan al Razi menggunakan istila ta’alluq. Istilah istilah tersebut memiliki pengertian yagn sama, yakni hubungan, relevan dan kaitan.
Hubungan (Munasabah/Relevansi) antara suatu ayat/surat dengan ayat/surat lain.
Ada yang berpendapat, bahwa setiap ayat/surat selalu ada relevansinya dengan ayat/surat lain. Ada pula yang berpendapat, bahwa hubungan itu tidak selalu ada. Hanya memang sebagian besar ayat-ayat dan surat-surat ada hubungannya satu sama lain. Disamping itu ada yang berpendapat, bahwa mudah mencari hubungan antara suatu ayat dengan ayat yang lain, tetapi sukar sekali mencari hubungan antara suatu surat dengan surat lain.
Mengingat pentingnya ilmu ini, kami rasa perlu menambah penjelasan-penjelasan sebagai berikut:
1. Abu Bakar al-Naisabury (wafat tahun 324 H) adalah Ulama yang pertama-tama memperkenalkan
di Baghdad Iraq. Ia mencela/mengkritik Ulama Baghdad, karena mereka tidak tahu adanya relevansi antara ayat-ayat dan antara surat-surat. Ia selalu berkata (apabila dibacakan kepadanya suatu ayat atau suatu surat):
Artinya: ”Mengapa ayat ini dibuat (diletakkan) di dekat ayat itu? Dan apa hikmahnya membuat/meletakkan surat ini dekat dengan surat itu?”
2. Muhammad ’Izah Daruzah menyatakan, bahwa semula orang mengira tidak ada hubungan antara suatu ayat/surat dengan ayat/surat lain. Tetapi sebenarnya
ternyata, bahwa sebagian besar ayat-ayat dan surat-surat itu ada hubungan antara satu dengan yang lain.
Untuk jelasnya, kami abaikan contoh-contoh surat-surat yang ada hubungannya satu sama lain, ialah surat Al-Fath, ada hubungannya dengan surat sebelumnya (Surat Al-Qital/Muhammad) dan juga dengan surat sesudahnya (Al-Hujurat).
Surat Al-Fath itu Madaniyah, diturunkan sesudah Nabi mencapai perdamaian Hudaibiyah dengan Musyrikin Mekah, bahwa Nabi dan umat Islam tidak jadi memasuki kota Mekah untuk ziarah baitullah Al-Haram, tetapi akan masuk pada tahun depan. Jelaslah bahwa yang dimaksud dengan Al-Fath dalam surat ini, bukanlah pembebasan kota Mekah, yang terjadi pada tahun 8 H, tetapi perdamaian Hudaibiyah yang terjadi pada tahun 6 H. Nabi mau menerimanya, sekalipun sebagian sahabat kurang setuju antara lain Umar, sebab hal itu semata-mata taktik dan strategi Nabi yang tinggi untuk mencapai kemenangan terakhir. Dan benar dalam waktu singkat kota Mekah telah dapat dibebaskan. Kemenangan ini tercapai setelah didahului dengan peperangan dengan Musyrikin Arab. Maka jelaslah ada hubungan antara surat Al-Fath ini dengan surat sebelumnya (Al-Qital/Muhammad). Dan setelah kemenangan di tangan umat Islam dan keamanan serta ketertiban masyarakat sudah mantap, maka diperlukan serangkaian tata tertib dan sopan santun dalam pergaulan, baik antara umat Islam dengan Nabi maupun antar sesama umat Islam. Maka turunlah surat Al-Hujurat yang mengatur bagaimana seharusnya sikap umat Islam terhadap Nabi dan sikap antara sesama umat Islam. Jelaslah ada relevansi antara ketiga surat itu, sebab surat Al-Qital sebagai prolognya, surat Al-Fath sebagai akibatnya/hasilnya, dan surat Al-Hujurat sebagai follow up nya.
Mengenai hubungan antara satu ayat dengan ayat lain adalah cukup jelas dan contoh-contohnya bisa dilihat pada uraian-uraian berikutnya.
3. Dr. Shubhi al-Shalih dalam kitabnya
mengemukakan bahwa mencari hubungan antara satu surat dengan surat lainnya adalah sesuatu yang sulit dan sesuatu yang dicari-cari tanpa ada pedoman/petunjuk, kecuali hanya didasarkan atas tertib surat-surat yang tauqifi itu. Padahal tertib surat-surat yang tauqifi tidaklah berarti harus ada hubungan antara surat-surat Al-Qur’an itu, sebagaimana tertib ayat-ayat yang tauqifi itu pun tidak berarti harus relevansi antara ayat-ayat Al-Qur’an itu, apabila ayat-ayat itu mempunyai sebab-sebab nuzulnya yang berbeda-beda. Hanya biasanya, tiap surat itu mempunyai maudhu’ (topik) yang menonjol dan bersifat umum, yang kemudian di atas maudhu’ itu tersusun bagian-bagian surat itu, yang ada hubungannya antara semua bagiannya itu. Tetapi kesatuan/persamaan maudhu’ pada tiap-tiap surat itu, tidaklah berarti ada kesatuan/persamaan maudhu’ pada semua surat Al-Qur’an. Ulama tafsir tidak sampai membuat kesimpulan sejauh itu. Mereka hanya cukup menunjukkan adanya hubungan antara ayat terakhir dari surat yang terdahulu dengan ayat pertama surat berikutnya. Seolah-olah hubungan antara kedua ayat dari kedua surat itu terjadi secara langsung melalui ayat, andaikata tidak dipisah dengan basmallah. Jadi tidak berarti ada hubungan antara kedua surat itu secara keseluruhan.
C. Macam-Macam Munasabah
Ditinjau dari sifatnya, munsabah terbagi dua bagian
1. Zhahir al irtibath (persesuan nyata)
Munasabah ini terjadi karena bagian al quran yang satu dengan yang lainnya tampak jelas dan kuat disebabkan kuatnya kaitan kalimat yang satu dengan yang lainnya. Deretan beberapa ayat yang menerangkan sesuatu materi itu terkadang ayat yang satu berupa penguat, penafsir, penyembung, penjelas, pengecualian ataud pembantas dengan ayat yang lain, sehingga semua ayat itu tampak sebagai satu kesatuan yang utuh. Misalnya, kelanjutan ayat satu dari serat al israk.
2. Khafry al irtibath (persesuaian tidak nyata)
Munasabah ini terjadi antara bagian-bagian al Qur’an tidak ada kesesuaian, sehingga tidak tampak adanya hubungan diantaranya, bahkan masing-masing ayat tampak berdiri sendiri, baik karena ayat-ayat dihubungkan dengan ayat lain maupun karena satu maupun yang lain. Misalnya hubungan antar ayat 189 dan ayat 190 dari surat Al Baqarah. Ayat 189 menjelaskan tentang bulan sabit (hilal) tanggal dan jangka waktu untuk ibadah haji. Sedangkan ayat 190 menjelaskan tentang perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat Islam. Sepintas ayat tersebut tidak ada relevansinya. Padahal kalau dicermati dapat diketahui munasabahnya.
Adapun munasabah ditinjau dari segi materinya terbagi dua bagian yaitu :
1. Munasabah antar ayat
Sebagai mana telah dijelaskan di muka bahwa ayat Al Qur’an disusun berdasarkan tawkifry Nabi. Adanya susunan ayat yang demikian mengandung kedalaman makna dari Uslub Al Qur’an.
Yang artinya : “alif lam mim, hanya kitab inilah yang tidak ada keraguan didalamnya sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, yakni orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang dimilikinya.”
2. Munasabah antar surat
Sebagai hal munsabah antar ayat Al Quran memiliki rahasia tersendiri. Ini berarti susunan surat Al Qur’an disusun dengan berbagai pertimbangan logis dan filosofis (menurut perspektif manusia) yang mengacau kepada kerangka oksioma Al Qur’an.
Munasabah antar ayat ini mencakup:
- Hubungan antar permulaan surat dan penutupan surat dengan penutupan surat sebelumnya. Misalnya permulaan surat al An’am memiliki revensi dengan penutup surat al Maidah hal antara hamba dan balasan.
“Segala puji milik Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan telah menjadikan kegelapan menjadi cahaya…”
Jika dicermati dari contoh diatas munasabah antar surat An’am dan surat al Maidah, maka paling tidak ada tiga dimensi filosofis yang dikandungnya. Pertama secara epistimologis, kedua surat tersebut memiliki argumentasi (hujjah) tersendiri
- Hubungan antara dua surat dalam soal materinya, yaitu materi surat yang satu sama dengan materi surat lainnya. Misalnya al Baqarah sama dengan kandungan surat al Fatihah.
Dalam hal ini Muhammad Shalih al Usaimin menjelaskan tentang susunan kata-kata yang memiliki munasabah.
a. Para ulama mewajibkan menempatkan tiap kata seperti susunan yang ada dalam masing-masing ayat. Misalnya kalimat
b. Susunan yang tidak boleh dibalik. Misalnya kalimat
c. Khusus mengenai surat bisa saja tidak diurut dalam membacanya. Misalnya, dalam shalat pada rakaat pertama membaca surat Al Kafirun, sedangkan pada rakaat kedua membaca surat al Kautsar.
D. Kedudukan dan Urgensi Munasabah dalam penafsiran Al Qur’an
Berbicara munasabah ini para ulama berbeda pendapat ada yang pro dan kontra. Diantara para ulama yang mendukung munasabah ini adalah al Buqa’iy. Ia sebagai dikutip Musthafa Muslim, mengatakan bahwa ilmu munasabah sangat penting ia merupakan ilmu agung sehingga hubungannya dengan ilmu tafsir bagaikan hubungan ilmu nawu dan ilmu bayan. Menurut al Zarkasyi ilmu munasabah menjadikan bagian-bagian kalam saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya. Ilmu ini menurut al Raziy, sangat bernilai tinggi selama dapat diterima akal, sedangkan tokoh tafsir yang menentang keberadaan munasabah Mahmud Syaltut dan Al Syathibi yang menganggap percuma usaha mencari hubungan apa yang ada diantara ayat dan surat dalam al Qur’an.
Harus dilakukan bahwa ayat-ayat dan surat dalam Al Qur’an tidak dapat dipisahkan, karena itu diperlukan pengetahuan tentang hubungan diantara ayat dan surat tersebut.
Penguasaan seseorang dalam munasabah akan mengetahui mutu dan tingkat kebalaghahan al Qur’an dan konteks kalimatnya antara yang satu dengan yang lain. Bagaimana tidak kotelasi antar ayat akan menjadikan keutuhan yang indah dalam tata bahasa al Qur’an yang jika dipenggal keindahan tersebut akan hilang. Ini bukti bahwa al Qur’an betul-betul mukjizat dari Allah bukan kreasi Muhammad. Sebagian dikatakan susunan dan hubungan, sedangkan susunan kalimat yang paling indah (baligh) adalah yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya.
Disini jelas bahwa pengetahuan tentang munasabah dapat memudahkan orang dalam memahami makna ayat Al Qur’an secara utuh. Adanya penafsiran yang sepenggal terhadap ayat-ayat al Qur’an akan mengakibatkan penyimpangan dan kekeliruan dalam penafsiran.
ILMU MUNASABAH
A. Pengertian Ilmu Munasabah
Secara harfiah, kata munasabah berarti perhubungan, pertalian, pertautan, persesuaian, kecocokan dan kepantasa. Kata al munasabah, adalah sinomim (muradif) dengan kata al muqarabah dan al musyakalah, yang masing-masing berarti berdekatan dan persamaan. Di antara contoh kata al munasabah dalam konteks pengertian ini adalah munasabah illat hukum (alasan logis) dalam teori al qiyas (analogi), yaitu sifat yang bedekatan atau memiliki persamaan dalam penetapan hukum.
Adapun yang dimaksud dengan munasabah dalam terminolgo ahli-ahli ilmu al Qur’an sesuai dengan pengertian harfiahnya di atas ialah : segi-segi hubungan atau perseuaian al Qur’an antara bagian demi bagian dalam berbagai bentuknya. Yang dimaksud dengan segi hubungan atau perseuaian ialah semua pertalina yang merujuk kepada makna-makna yang mempertalikan satu bagian dengan bagian yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan bagian demi bagian ialah semisal antara kata/ kalimat dengan kata/ kalimat, antara ayat dengan ayat, antara awal surat dengan akhir surat, antara surat satu dengan surat lain, dan beggitulah seterusnya hingga benar-benar tergambar bahwa al Qur’an itu merupakan satu kesatuan yagn utuh dan menyeluruh (holistik).
Seperti diingatkan para pujangga dan sastrawan, diantara ciri gubahan suatu bahasa yang layak dikategorikan baik dan indah ialah manakala rangkaian susunan kata demi kata, kalimat demi kalimat, alinea demi alinea dan seterusnya memiliki keterkaitan atau hubungan demikian rupa sehingga menggambarkan suatu kesatuan yang tidak pernah terputus. Al Qur’an sangat memebuhi persyaratan yang ditetapkan para pujangga itu, mengingat keseluruhan Al Qur’an yang terdiri atas 30 juz, 114 surat, hampir 88.000 kata dan lebih dari 300.000 huruf, itu seperti ditegaskan al Qurthubi (w.671) laksana satu surat yang tidak dapat dipisahkan. Satu hal yang patut ditegaskan ialah bahwa kesatuan al Qur’an itu terjadi sama sekli bukan karena dipaksakan melainkan bisa dibuktikan melalui hubungan antar bagian demi bagiannya.
Tertib urut-urutan surat dan terutama ayat-ayat al Qur’an yang oleh kebanyakan ulama diyakini bersifat tauqifi, mendorong kita untuk mengilustrasikan al Qur’an berbentuk bundar daripada memahaminya dalam konteks persegi panjang. Dengan cara pandang seperti ini, maka akan terasa lebih mudah memahami munasabah al Quran. Bukan saja dari segi kata demi kata, bagian demi bagian dan ayat demi ayat, melainkan juga antara surat demisurat dalam mana antara surat yang satu dengan surat yang lain benar-benar memiliki hubungan yang sangat erat. Termasuk hubungan antara surat An Nas (114) sebagai surat yang terakhir dengan surat Al Fathihah (1) yang ditetapkan sebagai surat pertama.
B. Segi-Segi Munasabah dan Pertalian Antar Ayat dan Surat Dalam Al Quran
Seperti ditegaskan sebelum ini, pertalian al Qur’an tidak semata-mata terletak pada hubungan antar ayat dan antar surat, akan tetapi juga terdapat bagian demi bagian yang lainnya dari bagian yang terbesar atau terpanjang hingga bagian demi bagian yang terpendek atau terkecil. Sehubungan dengan itu maka para ahli ilmu-ilmu al Qur’an sering membagi-bagikan munasabah ke dalam beberapa model. Di antaranya yang cukup masyhur ialah :
1. Munasabah antara jumlah dalam satu ayat
2. Munasahab antara permulaan dan akhir ayat (munasabah antara mabda’ dengan fashilah)
3. Munasabah antar ayat dalam satu surat
4. Munasabah antar ayat sejenis dalam berbagai surat
5. Munasabah antar pembuka dan penutup suatu surat
6. Munasabah antar akhir surat yang satu dengan awal surat yang lain
7. Munasabah antar surat
8. Munasabah antar nama surat dengan tujuan/sasaran penurunannya
9. Munasabah antar nama-nama surat
C. Fungsi/Peran dan Kegunaan Ilmu Munasabah serta kemungkinan pengembangannya
Seperti disinggung sebelum ini, beberapa ahli ulumul Qur’an menjuluki ilmu munasabah dengan beberapa julukan. Yang terpenting diantaranya ialah bahwa ilmu munasabah sebagai ilmu yang baik (‘ilmin hasan), ilmu yang mulia (ilmun syarif) dan ilmu yang agung (ilmun ‘azhimun). Semua julukan ini mengisyaratkan betapa ilmu munasabah mendapatkan tempat dan penghargaan yang cukup tinggi dalam lapangan ilmu-ilmu Al Qur’an dan sekligus memiliki fungsi atau peran yang cukup signifikan dalam memahami dan menafsirkan al Qur’an. Bahkan seperti dinyatakan az Zarkasyi yang telah dikutibkan sebelum ini, ilmu munasaba dapat dijadikan sebagai salah satu tolak ukur untuk mengatahui kualitas kecerdasan seorang mufassir.
Banyak para analis tafsir yang menyatakan adalah salah dugaan sebagian orang yang memandang tidak perlu melakukan penggalian ilmu Munasabah dalam menafsirkan al Qur’an hanya dengan alasan karena ayat-ayat al Qur’an yang jumlah ayatnya sangat banyak itu diturunkan dalam waktu yang alma dan I tempat serta latar belakang yang berbeda. Menurut hemat penulis, ilm munasabah itu paling sedikit berfungsi sebagai ilmu pendukung atau penopang dalam menafsirkan ayat-ayatt Al Qur’an. Bahkan tidak jarang dengan pendekatan ilmu munasabah penafsiran akan semakin menjadi jelas. Dan karenanya maka ilmu Munasabah cukup memiliki peranan dalam meningkatkan kualitas penafsiran ayat-ayat Al Quran.
Urgensi dari keberadaan ilmu munasabah akan semaki terasa kebutuhannya manakala seseorang yang manfsirkan al Qur’an menggunakan metode tafsir al maqdhu’i (tematik) dan atau tafsir al muqaran (komparasi). Bukanlah satu dari sekian banyak langkah tafsir al mawdhu’i dan tafsir al muqaran menuntut mufassir supaya memperhatikan keterkaitan (munasabah) antara ayat yang berbicara tentang masalah yang sejenis.
by : anonymous
Sabtu, 30 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar