Sabtu, 30 Mei 2009

RIBA DALAM PANDANGAN ISLAM

MEKANISME PASAR DAN PERSOALAN RIBA 
DALAM PANDANGAN ISLAM

A. Mekanisme Pasar
 Dalam perekonomian, pasar berperan sangat penting khususnya dalam sistem ekonomi bebas/liberal. Pasarlah yang berperan untuk mempertemukan produsen (yang memproduksi dan menawarkan barang) dan konsumen (yang menentukan jumlah dan jenis barang/komoditas yang dikehendakinya). Konsumen sangat menentukan kedudukan pasar, sebab konsumenlah yang berperan untuk menentukan lalu lintas barang dan jasa.
 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ada saling ketergantungan antara produsen dan konsumen. Produsen akan berusaha menggunakan faktor-faktor produksi yang ada untuk memproduksi berbagai jenis barang kebutuhan yang diminta oleh konsumen. Dengan demikian, produsen dalam memproduksi barang kebutuhan tersebut berharap agar konsumen membeli barang yang diproduksinya dengan melebihi biaya produksi (termasuk promosi/pemasaran) yang telah dikeluarkan oleh produsen. Selisih lebih tersebutlah yang diharapkan oleh produsen sebagai keuntungan yang akan diperolehnya. Lazimnya produsen selalu berprinsip “memproduksi barang dengan biaya yang relatif rendah untuk memaksimumkan keuntungan yang akan diperoleh”.
 Bagi konsumen, persoalan utama yang dihadapi adalah bagaimana mengatur barang-barang kebutuhan yang mereka perlukan. Untuk itu tentunya konsumen harus menentukan prioritas barang dan jasa yang dibutuhkan. Hal itu sangat tergantung kepada keadaan konsumen sendiri. Selain itu pihak konsumen pun cenderung utuk mendapatkan barang yang lebih murah.
 Dalam kontek ini yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana sistem pasar yang dikehendaki oleh semangat Islam?
 Untuk menjawab persoalan itu ada baiknya dikonstatir ungkapan (Muahmmat Nejatullah Siddiqi, 1991 : 84) yang menyatakan, “Sistem pasar di bawah pengaruh semangat Islam berdasarkan pada dua asumsi… Asumsi itu adalah rasionalitas ekonomi dan persaingan sempurna. Berdasarkan asumsi ini, sistem pasar di bawah pengaruh semangat Islam dapat dianggap sempurna. Sistem ini menggambarkan keselarasan antara kepentingan para konsumen”.
 Yang dimaksud dengan rasionalitas ekonomi dikandung makna bahwa konsumen dan produsen (pengusaha) dapat memaksimumkan kepuasan masing-masing. Kepuasan tersebut akan diusahakannya secara bertahap (tetap dan berkesinambungan). Untuk itu konsumen dan produsen dapat mengetahui dengan jelas apa dan bagaimana keputusan yang harus diambil dalam pemenuhan kepuasan ekonomi tersebut.
 Adalah hal yang sulit bagi kedua asumsi tersebut (rasional ekonomi dan persaingan sempurna) untuk direalisasikan dalam kenyataan di pasar. Kesulitan itu disebabkan karena harus didukung oleh banyak faktor lain yang akan mempengaruhi mekanisme pasar.
 Namun demikian, Islam memiliki norma tertentu dalam hal mekanisme pasar. Menurut pandangan Islam yang diperlukan adalah suatu bentuk penggunaan dan pendistribusian tertentu serta dibentuknya suatu sistem kerja yang bersifat produktif. Sifat produkit itu dilandasi oleh sikap keinginan/niat yang sedemikian rupa guna mencapai bentuk penggunaan dan pendistribusian tersebut. Dengan demikian, model dan pola yang dikehendaki adalah sistem operasional pasar yang normal.
 Dalam hal ini Muhammad Nejatullah Siddiqi menyimpulkan bahwa ciri-ciri penting pendekatan Islam dalam hal mekanisme pasar adalah :
1) Penyelesaian masalah ekonomi yang asasi penggunaan, produksi, dan pembagian pasti dikenal sebagai tujuan mekanisme pasar
2) Dengan pedoman pada ajaran Islam, para konsumen diharapkan bertingkah laku sesuai dengan mekanisme pasar sehingga dapat mencapai tujuan yang dinyatakan di atas
3) Jika perlu, campur tangan negara dianggap sebagai unsur penting yang memperbanyak atau menggantikan mekanisme pasar, untuk memastikan agar tujuan ini benar-benar tercapai (Muhammad Nejatullah Ash Siddiqi, 1991 : 91).
Dalam mekanisme pasar, akan bertemu dua pihak yang saling membutuhkan satu sama lain, yaitu produsen dan pihak konsumen.
 Berikut ini akan dipaparkan bagaimana aktivitas produsen dan konsumen menurut pandangan Islam.

1. Aktivitas Produsen
 Pada sistem pasar persaingan bebas, produksi barang didasarkan atas corak permintaan konsumen. Selain itu, lazimnya produsen akan selalu berusaha untuk memaksimalkan keuntungannya.
 Namun demikian, apabila aktivitas produsen dipengaruhi oleh semangat ruh Islam, maka aktivitasnya dalam memproduksi barang yang ada dalam ketentuan syariat Islam. Pola produksi yang dipengaruhi semangat Islam harus yang berikut ini :
a) Barang dan jasa yang haram tidak akan diproduksi atau dipasarkan. Maksudnya, pengusaha tidak memproduksi dan memasarkan barang dan jasa yang bertentangan dengan ketentuan syari’at Islam, seperti tidak memproduksi makanan haram, minuman yang memabukkan, dan usaha-usaha maksiat lainnya (seperti usaha prostitusi, judi, dan lain-lain.
b) Produksi barang yang bersifat kebutuhan sekunder dan tersier disesuaikan dengan permintaan pasar. Dalam hal ini produsen dalam memproduksi barang dan jasa tidak harus mempertimbangkan dengan seksama kemampuan dan kebutuhan masyarakat (dengan tujuan untuk memperoleh untung yang sebesar-besarnya). Tanpa itu kegiatan produksi akan membawa dampak yang negatif terhadap masyarakat, apalagi ketika memasarkan produk diiringi dengan promosi yang gencar (sedangkan biaya promosi dibebankan kepada pundak konsumen) yang pada akhirnya akan melahirkan budaya konsumtif
c) Produsen hendaklah tetap melakukan kontrol (mempertimbangkan sepenuhnya) permintaan pasar. Maksudnya pengusaha (produsen) ikut berperan serta melakukan pembinaan terhadap konsumen dengancar mengatur pemasaran barang dan jasa yang diproduksinya sehingga tidak menimbulkan dampak yang negatif terhadap pola konsumen.
d) Dalam proses produksi dan pemasaran harus dipertimbangkan aspek ekonomi, mental, dan kebudayaan. Dalam hal ini produsen dalam melakukan proses produksi dan pemasaran barang dan jasa harus mempertimbangkan aspek ekonomi dari kegiatan produksi dan pemasaran. Aspek ekonomi itu antara lain : tidak melakukan kegiatan produksi dengan biaya tinggi, juga mempertimbangkan mental dan kebudayaan masyarakat, seperti tidak memproduksi barang dan jasa yang merusak mental dan budaya masyarakat
e) Tidak melakukan penimbunan barang dengan maksud untuk meraih keuntungan yang besar. Penimbunan barang tersebut dilakukan dengan harapan terjadinya lonjakan harga, seperti hilangnya semen dari pasaran, sehingga mengakibatkan naiknya harga semen di pasar
 Sedangkan dalam hal mencari/mengejar keuntungan hendaklan selalu mempertimbangkan aspek ekonomi masyarakat. Ide keadilan dan kebajikan Islam tidak dibenarkan sama sekali dalma melakukan aktivitasnya yang selalu bertumbpu kepada tujuan untuk mengajar keuntungan semata. Seorang pengusaha/pedagang dalam pandangan Islam mempunyai tugas untuk menegakkan keadilan dan kebajikan yang diingini oleh agama Islam. Dengan perkataan lain, seorang pengusaha pedagang Islam juga berkewajiban untuk mendukung dan menguntungan pihak konsumen (dominan mempunyai tingkatan ekonomi lebih rendah ketimbang dirinya).
 Seorang pengusaha/pedagang Islam harus melihat aktivitasnya selain sebagai sara untuk memperoleh keuntungan yang wajar juga sebagai sarana untuk beramal dengan cara mengorbankan sebagian keuntungannya untuk pelayanan sosial dan bantuan altrusistik.
 Dengan demikian, motivasi aktivitas produsen/pengusaha/ pengusaha/penjual menurut pandanga Islam adalah :


1) Berdasarkan ide keadilan Islam sepenuhnya
2) Berusaha membantu masyarakat dengan cara mempertimbangkan kebajikan orang lain pada saat seorang pengusaha membuat keputusan yang berkaitan dengan kebijaksanaan perusahaannya
3) Membatasi pemaksimuman keuntungan berdasarkan batas-batas yang telah ditetapkan oleh prinsip di atas (Muhammad Nejatullah Ash Siddiqi, 1991 : 108).

2. Konsumen
 Pada umumnya konsumen bersifat memaksimumkan kepuasannya. Dalam hal ini Walker, R.E. Lewat bukunya From Economic Theory to Policy (dalam Muhammad nejatullah Ash Siddiqi, 1991 : 94) menyatakan rasionalitasi ekonomi beranggapan bahwa apra konsumen berusaha memaksimumkan “kepuasan” mereka. Ekonmi modern, termasuk aliran khusus yang sama sekali bukan tidak mengandung makna utilitarian.
 Akan halnya konsumen yang dipengaruhi oleh semangat Islam, pada asasnya konsumen juga berusaha memaksimumkan kepuasannya. Kepuasan yang dimaksud di sini bukanlah kepuasan yang bebas, tetapi kepuasan yang mengacu kepada (dipengaruhi oleh) semangat ajaran Islam.
 Dalam ajaran Islam, aspek utama yang mempengaruhi tingkah laku konsumen dalam rangka melakukan permintaan kebutuhan terhadap pasar (yang sekaligus membedakan konsumen yang dipengaruhi oleh semangat Islam dan tidak dipengaruhi oleh semangat Islam), adalah yang berikut ini.
a) Permintaan pemenuhan kebutuhan terhadap pasar hanya sebatas barang yang penggunaannya tidak dilarang dalam syariat Islam. Pengaruh positif ajaran Islam terhadap pola konsumsi konsumen, yang pertama sekali ialah konsumen tidak akan melakukan terhadap kebutuhan barang dan jasa yang penggunaannya tidak dibolehkan oleh syari’at Islam. Dengan demikian produsen pun tidak ada peluang sama sekali untuk memproduksi/memasarkan barang-barang dan jasa-jasa yang penggunaannya dilarang oleh syariat Islam. Misalnya : konsumen tidak mengkonsumsi minuman keras, makanan haram, prostitusi, hiburan yang tidak senonoh dan barang serta jasa lainnya yang dilarang menurut ajaran Islam. Dengan perilaku tersebut (tidak mengkonsumsi barang dan jasa yang haram), otomatis permintaan akan barang dan jasa tersebut akan mencapai titik nol. Dengan perilaku konsumen yang demikian akan membawa pola hidup, keamanan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Pada akhirnya akan tercipta masyarakat adil, sejahtera, dan beradab (masyarakat utama).
b) Cara hidup tidak boros dan kebutuhan terhadap barang konsumsi diteliti terlebih dahulu. Dalam ajaran agama Islam perilaku boros merupakan perbuatan terlarang. Pada dasarnya dalam pandangan Islam, seseorang pemilik harta (individu) tidak mempunyai hak mutlak terhadap harta yang dimilikinya. Dengan demikian, penggunaan harta tersebut haruslah sesuai dengan kebututuhannya. Kalaupun seseorang sanggup untuk memperoleh barang-barang mewah (kebutuhan tersier) hendaklah terlebih dahulu meneliti kehidupan masyarakat disekelilingnya. Tidak mungkin seorang muslim hidup bermewah-mewah di tengah-tengah masyarakat yang serba berkekurangan. Sebab perbuatannya tersebut akan dapat menimbulkan kecemburuan dan fitnah.
c) Pemerataan pemenuhan terhadap kebutuhan. Dalam hal ini bagi seseorang muslim yang beruntung memiliki harta, tidaklah mempergunakan harta yang diperolehnya tersebut (merupakan titipan) untuk pemenuhan kebutuhan pribadinya belaka. Sebab di dalam harta seseorang muslim terdapat hak masyarakat. Bagi semua muslim yang beruntung ada kewajiban untuk mendistribusikan hartanya kepada masyarakat (khususnya anggota masyarakat yang berkekurangan) dan untuk kepentingan umum. Sara pendistribusian ini di dalam agama Islam dikenal dengan istilah zakat (zakat diri dan harta), sedekah, infak, dan wakaf.
d) Dalam aktivitas pemenuhan kebutuhan, konsumen tidak hanya mementingkan kebutuhan yang bersifat materil semata (tidak berpandangan hidup materialis), tetapi juga kebutuhan yang bersifat immateril, sepreti kehendak untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan hubungan sosial.
e) Selain memenuhi kepentingan priabdi, juga memperhatikan kepentingan sosial masyarakat. Maksudnya, selain terdapat barang dan jasa untuk kepentingan pribadi, juga ada barang dan jasa tertentu yang digunakan secara bersama-sama oleh anggota masyarakat.
f) Seorang konsumen juga harus melihat kepentingan konsumen yang lain dan kepentingan pemerintah. Maksudnya, seorang konsumen bekerja sama dengan konsumen yang lain dan pemerintah untuk mewujudkan pembangunan (Pembangunan yang Islami). Dengan demikian, inisiatif dari mana pun juga (dominan datang dari pihak pemerintah) untuk menggalang kerja sama guna kepentingan pembangunan, seperti pembayaran pajak, retribusi, dan kontrol sosial terhadap barang-barang produksi guna kepentingan bersama.

B. Persoalan Riba dalam Pandangan Islam
 Sebelum dibicarakan riba lebih jauh, ada baiknya dibicarakan terlebih dahulu tentang rente.
 Ada suatu pendapat ditengah-tengah masyarakat yang menyatakan bahwa rente dan riba sama. Pendapat itu disebabkan rente dan riba merupakan “bunga” uang. Karena sama-sama bunga uang, maka dihukumkan pula sama.
 Namun belakangan anggapan tersebut mulai berubah, terutama sekali sejak orang menyelidiki dengan seksama tentang praktek perbankan.memang diakui antara keduanya terdapat persamaan, yaitu sama-sama merupakan “bunga bank”. Namun, kalau dilihat dari sisi perbedaannya, maka jauh lebih besar perbedaannya dari pada persamaannya.
 Dalam prakteknya, rente merupakan keuntungan yang diperoleh pihak bank karena jasanya telah meminjamkan uang untuk memperlancar kegiatan usaha perusahaan/orang yang telah meminjam uang tersebut. Dengan bantuan bank yang telah meminjamkan uang tersebut, usaha perusahaannya telah semakin maju, dan keuntungan yang diperolehnya pun semakin besar. Atas dasar pemberian bantuan keuangan tersebut, bank memperoleh bagian keuntungan, sedangkan mengenai jumlah keuntungan yang akan diperoleh bank tersebut telah ditetapiak terlebih dahulu dalam akad kredit yang telah disepakati.
 Sedangkan kegiatan riba dalam prakteknya, merupakan pemerasan yang dilakukan terhadap si miskin yang pada dasarnya perlu ditolong agar dapat melepaskan diri dari kesulitan hidupnya, terutama sekali untuk memebuhi kebutuhan pokoknya. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Tukan riba datang menawarkan jasa dengan cara meminjamkan uang kepada si miskin tersebut dengan ketentuan uang harus beranak (berbunga). Akan tetapi disebabkan si miskin tidak sanggup membayar tepat pada waktunya maka diadakan penundaan pembayaran, sehingga uang terus beranak (bunga berbunga). Semakin lama utang tidak dibayar maka semakin besar pulalah bunga yang dikenakan kepada si miskin.
 Sering terjadi utang pokok telah berlipat ganda, yang pada akhirnya menimbulkan kesulitan bagi yang berutang.
 Dari contoh praktek yang dikemukakan di atas, jelaslah terlihat garis merah antara rente dengan riba. Rente bersifat produktif, sedangkan riba dipergunakan untuk hal-hal yang konsumtif.
 Lebih lanjut dapat dikemukakan landasan hukum tentang pelarangan riba ini didasarkan kepada ketentuan hukum yang terdapat dalam QS. AL Baqarah : 275 s.d 281 dan QS. Ali Imran : 130.
 Apabila diperhatikan ketentuan hukum yang terdapat dalam ayat tersebut, secara khusus menjelaskan dengan tengas pengertian riba, hanyalah ketentuan yang menyatakan : yaitu “janganlah kami memakan riba dengan berlipat ganda…” (QS. Ali Imran : 130).
 Dalam hal ini timbul persoalan. Apakah yang dimaksud riba dengan berlipat ganda tersebut?
 Untuk hal itu berikut ini diungkapkan beberapa komentar para ahli hukum Islam tentang pengertian riba (Fuad Moch, Fachruddin, 1985 : 39 – 40).
 Said Muhammad Rasyid Ridha dengan mengkonstatir pendapat Ibnu Qayyim (ahli fikih terkemuka dan murid Ibu Taimiyah) mengemukakan tentang ragam riba dengan ungkapan, “Adapun riba yang terang ialah riba annasiah ya’I sebagaimana yang berlaku di zaman jahiliah. Ditangguhkannya piutannya, dan penundaan tempo ini menentukan pula tambahan dari besar jumlah piutangnya itu. Sekian kali ditunda, sekian kali pula piutangnya naik, sehingga yang seratus menjadi beribu-ribu. Biasanya yang akan mau berutang demikian hanyalah orang-orang yang ketiadaan dan sangat sesak hidupnya. Apabila ternyata yang berutang itu “sabar” menerima tambahan utangnya.ia pun mendesak dan menekannya sedemikian rupa sehingga “tenggelamlah mangsanya” ini ke dalam utang yang tidak mungkin dibayarnya lagi. Dengan itu bertambah utang si korban dengan tidak mendapatkan apa-apa dan bertambahlah harta si lintah darat ini dengan tidak memberikan jasa apa-apa kepada korbannya”.
 Lebih lanjut Muhammad Rasyid Ridha mengungkapkan, “Riba macam ini sajalah yang diharampak menurut nash Al Qur’an, riba annasiah yang mereka lipat gandakan atas orang miskin yang tidak berkesanggupan membayarnya selama-lamanya. Inilah yang meruntuhkan rumah tangga, menghapuskan rasa kasih sayang dari jantung manusia, dan menanamkan bibit permusuhan antara hartawan dan rakyat jelata”.
 Apabila diperhatikan keterangan para ahli tafsir dan penjelasan para ahli Hukum Islam, pada umumnya mereka memandang bahwa riba yang dimaksudkan dalam Al Qur’an adalah riba nasiah. Yakni bentuk riba yang merajalela pada zaman jahiliah, yaitu berupa kelebihan pembayaran yan dimestikan kepada orang yang berutang sebagai imbalan daripada tenggang waktu yang diberikan. Jadi, disini jelas terlihat bahwa sebagiah para ahli tafsir berpendapat bahwa riba yang dimaksudkan dalam nash Al Qur’an tersebut adalah riba yang bertempo.
 Sebaliknya Yusuf Qardhowi, dkk. (1992 : 36 – 37) berpendapat “sesungguhnya riba yang merata di zaman jahiliah bukan riba konsumsi. Tidak ada orang yang datang meminjam kepada seseorang untuk dimakan. Kalau ada seorang Arab kaya memungut riba dari seorang miskin yang membutuhkan pinjaman, guna kepentingan makan dan minum, hal itu jarang sekali. Karena itulah hal ini tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum bahwa riba yang dimaksud dalam Al Qur’an tersebut riba konsumsi (untuk keperluan konsumtif, pen) atau riba jahiliyah.
 Yang terkenal dan merata pada waktu itu (Zaman jahiliyah, pen) adalah riba perdagangan. Yakni berupa perjalanan khalifah perdagangan, yang terkenal pada waktu musim hujan dan musim panas. Ketika itu orang memberikan hartanya kepada para pedagang untuk diperdagangkan di negeri tujuan kafilah, baik dalam bentuk pinjaman atau kerja sama yang keuntungannya dibagi sesuai perjanjian. Kalau sekiranya terjadi musbah atau bentuk krugian lainnya, maka kerugian tersebut dibebankan sepenuhnya kepada pemilik modal. Itulah yang dimaksud denganriba. Riba bisa juga dikatakan berupa pinjaman yang bunganya ditetapkan terlebih dahulu. Riba model ini dipraktekkan juga oleh Al Abbas bin Abdul Mutthalib (paman Rasulullah). Hal itu telah dilarang oleh Rasulullah melalui pengumuman yang disampaikan ketika haji wada’ dengan ungkapan, “Sesungguhnya riba jahiliyah dilarang, dan riba pertama yang aku larang adalah riba pamanku, Al Abbas.”
 Dalam muktamar ulama Islam yang diselenggarakan pada bulan Muharram tahun 1258 H (Mei 1965 M) di Aula Majma’ul Buhuts Al Islamiyah di Al Azhar Asy Syarif, dan dihadiri oleh pakar hukum, ekonomi, sosial dari berbagai negara, keputusan menyangkut riba adalah sebagai berikut ini :
a) Keuntungan dari berbagai pinjaman adalah riba yang diharamkan.
Dalam hal ini tidak ada bedanya antara apa yang dinamakan pinjaman konsumsi dengan pinjaman produksi karena nash Al Qur’an dan Sunnah secara keseluruhan telah menetapkan haramnya keuntungan dari kedua jenis pinjaman itu.
b) Riba sedikit maupun banyak hukumnya tetap haram seperti yang diisyarakatkan oleh pemahaman yang benar dan menyerap pesan Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba berlipat-lipat ganda”. (Ali Imran : 130)
c) Pemberian pinjaman dengan riba hukumnya haram dan tidak bisa dibenarkan karena hajat atau keterpaksaan seseorang. Penerimaan pinjaman dengan riba hukumnya jgua haram dan tidak bisa terangkat dosanya, kecuali bila didorong oleh keterpaksaan, dan setiap orang diserahkan kepada keimanannya dalam menilai keterpaksaannya itu.
d) Praktek bank berupa rekening berjalan, tukar-menukar cek, kartu kredit, cambiale dalam negeri yang merupakan dasar hubungan bank dengan pengusaha dalam negeri, semuanya tergolong yang dibenarkan. Pungutan apapun sebagai jasa bank atas pekerjaannya tidak termasuk riba.
e) Semua rekening berjangka dan surat kredit dengan keuntungan dan berbagai bentuk rupa pinjaman dengan imbalan keuntungan (bunga) merupakan praktek riba (Yusuf Qardawy, dkk, 1992 : 59 – 60)
Pendapat lain tentang riba ini dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Mutawalli Asy Sya’rawi. Ia mengatakan, “sungguh menakjubkan jika kita melihat dan mendengar ada seseorang yang mengaku dirinya ilmuwan, tapi berusaha keras hendak menghalalkan apa yang sudah diharamkan Allah.”
 “Saya tidak tahu apa sebabnya mereka bersikeras pada sikapnya itu dan berusaha keras hendak menurunkan ajaran langit agar disesuaikan dengan undang-undang bumi”.
 Yang lebih menakjubkan lagi mereka mengatakan bahwa riba yang diharamkan itu adalah Adf’afun mudha’afah. Mereka mengatakan itu dengan membawa dalil dari Al Qur’an pula. Mereka tidak bisa membedakan antara suatu fakta yang merata dan syarat dalam hukum, seolah merekan menentang ajaran Allah, “Maka untukmu pokok hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak pula teraniaya.” (Al Baqarah : 279)
 Adapun menyangkut hikma diharamkannya riba (Syeikh Ali Ahmad Al Jurjawi, 1992 : 376) disebabkan riba tersebut meurpakan bencana besar, musibah yang kelam, dan penyakit yang berbahaya. Orang yang menerima sistem riba maka kefakiran akan datang kepadanya dengan cepat. Dia akan dikepung dengan kemelaratan, karena perjalanan hidup ini tidak dapat diduga sebelumnya. Bahkan sering terjadi seseorang yang pada mulanya berada dalam serba kecukupan kemudian menjadi jatuh miskin nasibnya. Ketika itu menjadi teman setia kesedihan, pagi dan sore pikirannya gelisah dan bersedih. Dalam situasi seperti itu ia menjadi orang yang guncang hatinya, tertipu perasaannya, dan hancur pikirannya. Atau dalam istilah lain “dia mati sebelum mati”.



BY : ANONYMOUS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar